Memandang Kebudayaan Indonesia

Senang sekali menghadiri undangan ustadz Raihan Iskandar, Lc, anggota Panja RUU Kebudayaan DPR RI. Hari ini, Kamis 09/06/2011, jam 10.00 hingga  jam 13.00 beliau menggelar Dialog Kebudayaan, dalam rangka mencari masukan untuk pembahasan RUU Kebudayaan. Menghadirkan maestro kebudayaan, Taufiq Ismail, Anhar Gonggong dan Prof Jakob Soemardjo.

Pada awalnya pak Anhar bercerita bahwa ide pembuatan UU Kebudayaan sudah ada sejak tahun 1980-an, namun selalu ada pro kontra. Diantara yang kontra adalah Prof Fuad Hasan yang berpandangan bahwa kehidupan di Indonesia (waktu itu) sudah sangat terbelenggu, tidak ada kebebasan. Kalau kebudayaan diundangkan, maka akan semakin membelenggu proses kreatif masyarakat. Biarlah kebudayaan menjadi milik masyarakat yang bebas dan tidak perlu diformat dalam bentuk undang-undang.

Dalam sesi dialog saya bertanya posisi beliau terhadap pro-kontra tersebut. “Ini pertanyaan yang sulit”, jawab beliau. “Dulu saya berdua dengan Prof Fuad Hasan menolak RUU Kebudayaan, karena di masa orde baru kita tidak memiliki kebebasan. Semua serba diseragamkan oleh penguasa”.

“Tapi dua tahun terakhir saya tengah merenung. Kondisi kita sudah banyak berubah dibanding orde baru. Namun saya masih gamang untuk memutuskan. Bisa saja nantinya saya akan mendukung RUU Kebudayaan ini. Tapi biarkan saya melakukan perenungan dulu”, jawab pak Anhar.

Prof. Jakob Soemardjo menyoroti perbedaan orde baru dengan orde pasca reformasi. Sesanti Bhinneka Tungga Ika di masa orde baru lebih ditarik kepada “Ika”nya, sehingga semua serba diseragamkan. Semua perbedaan dianulir dan tidak diakui, dan diharuskan serba seragam. Namun sekarang tarikan ke arah “Bhinneka” sangat kuat, bahwa terjadi kebebasan yang sangat luas. Namun ternyata masyarakat Indonesia tidak mampu mengelola kebebasan berbeda pendapat tersebut.

Budayawan Taufiq Ismail menekankan pentingnya sastra. Bahasa tidak boleh dipisahkan dari sastra, karena ekspresi dari bahasa itu adalah sastra. Tidak terjebak dalam linguistik semata. Ia mengingatkan bahwa ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw adalah perintah membaca. “Iqra’, itu artinya membaca. Membaca apa ? Ya membaca buku. Bisa juga membaca alam semesta”.

Taufiq Ismail juga mengingatkan bahwa menulis termasuk salah satu dari lima ayat pertama yang diturunkan Allah. tatkala umat Islam mengamalkan perintah membaca, mereka berhasil mencapai kejayaan peradaban hingga tujuhratus tahun. Namun sekarang masyarakat Barat yang mengamalkan perintah membaca, maka kini mereka memimpin peradaban dunia.

Di akhir sesi beliau membacakan puisi tentang Ariel, Cut Tari dan Luna Maya, sambil berlinang air mata. “Hanya satu bulan semenjak video Ariel beredar, empat puluh sembilan perkosaan terjadi kepada anak-anak di bawah usia. Mereka mengaku ingin meniru adegan Ariel yang ditontonnya”, kata Taufiq Ismail.

Dimana kebudayaan Indonesia ? Dimana kebudayaan kita ? Apa sebenarnya budaya asli Indonesia ? “Kenyataannya, dalam semua budaya tradisional di Indonesia, semua mengakui bahwa tarian perang adalah seni yang paling menarik. Ini menandakan budaya Indonesia suka perang, namun tidak ekspansif”, kata pak Anhar Gonggong.

Ini terjadi karena kita adalah Masyarakat Warisan, yang menyimpan sifat kolonialisme. Bukan Masyarakat Merdeka. Sehingga kesukaan berperang tidak diimbangi dengan mental ekspansi. Kalau masyarakat Indonesia bermental ekspansi, tentu Australia menjadi milik orang Bugis, bukan milik orang Inggris. “Sejak zaman dulu orang Bugis mencari ikan hingga ke Australia”, jelas Anhar Gonggong.

Dalam sesi dialog saya juga bertanya kepada pak Taufiq Ismail, dulu di zaman orde baru beliau menulis puisi berjudul Malu Aku Jadi Orang Indonesia. Apakah dengan kondisi Indonesia sekarang ini, beliau masih malu menjadi orang Indonesia ?

“Dulu saya malu menjadi orang Indonesia. Sekarang, saya sangat malu menjadi orang Indonesia”, jwab pak Taufiq.

Ini cuplikan puisi beliau, berjudul “Malu Aku Jadi Orang Indonesia”.

……………….

II
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.

III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,

………………….

Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.

IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.

…………………….

Ah, biarlah pak Taufiq Ismail sangat malu menjadi orang Indonesia. Saya masih memiliki sejumlah optimisme memandang Indonesia di masa depan. Saya masih menyimpan harapan yang sangat besar akan kebaikan Indonesia di masa yang akan datang.

Saya menyaksikan orang-orang yang bekerja keras untuk kebaikan Indonesia. Saya masih melihat jiwa-jiwa yang tulus untuk membangun kebudayaan yang berwibawa. Saya melihat orang-orang yang terus bekerja siang dan malam, melakukan proses pembinaan, melakukan proses penanaman nilai-nilai kebaikan, melakukan perubahan dari dasar hati yang paling dalam.

Saya tidak malu menjadi orang Indonesia. Saya bangga menjadi orang Indonesia. Karena saya masih selalu melihat orang-orang itu…. Orang-orang yang bekerja keras tanpa mengenal waktu. Tenaga, pikiran, harta bahkan jiwa mereka disumbangkan untuk kerja-kerja kebaikan. Membangun masyarakat. Membangun petani. Membangun nelayan. Membangun perburuhan. Membangun desa. Membangun generasi muda.

Saya tidak malu menjadi orang Indonesia. Saya bangga menjadi orang Indonesia. Karena saya masih selalu melihat orang-orang itu…. Orang-orang yang selalu berusaha melakukan hal terbaik, walaupun tidak pernah diberitakan media massa. Orang-orang yang tekun menanam benih-benih kebaikan dimana-mana, walaupun tidak pernah diliput media. Orang-orang yang bekerja nyata tanpa publisitas, mereka berkeringat, mereka lelah, mereka berdarah-darah untuk memperbaiki kapal besar bernama Indonesia.

Saya tidak malu menjadi orang Indonesia. Saya bangga menjadi orang Indonesia. Karena saya selalu bertemu orang-orang yang sangat yakin bahwa budaya adalah konstruksi positif manusia, maka apabila manusia selalu dibina dan dijaga kebaikannya, akan lahirlah kebudayaan mulia.

Saya selalu melihat orang-orang itu. Orang-orang yang selalu bekerja tanpa setitik pun keraguan, bahwa hasil akhir dari kebudayaan ditentukan sebesar apa kemampuan mereka menebarkan kebajikan di tengah derasnya pragmatisme kehidupan. Orang-orang yang terus berjuang mewarnai kehidupan manusia dengan nilai-nilai kemuliaan, agar lahir kebudayaan nasional Indonesia yang berwibawa dan mulia.

Bukan, mereka bukan orang suci, bukan Ratu Adil, bukan Imam Mahdi atau yang semacam itu. Mereka orang biasa saja, sangat biasa. Sesekali mereka juga terjatuh. Sesekali mereka juga mengaduh. Namun tenaga dan cinta yang tersimpan dalam jiwa mereka luar biasa besarnya. Tenaga yang selalu tersedia untuk berbagi dengan sesama, untuk mengabdi bagi terwujudnya kebudayaan mulia.

Maka saya selalu bangga menjadi orang Indonesia, karena saya selalu melihat mereka. Saya percaya suatu saat Indonesia akan berjaya. Saya percaya suatu masa Indonesia akan menjadi negara hebat di dunia. Karena saya selalu melihat orang-orang yang bekerja dengan sepenuh tenaga dengan segenap cinta, untuk membangun Indonesia.

Ya, saya benar-benar bangga menjadi orang Indonesia. Saya bangga minum teh poci bukan wisky, saya makan nasi bukan roti, saya makan mie ayam bukan spaghetti, saya makan kue bolu koja bukan pizza.

Karena saya cinta Indonesia.

sumber: http://cahyadi-takariawan.web.id/

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*