Di tengah tren penurunan yang terjadi pada elektabilitas partai-partai politik, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) justru sebaliknya, cenderung naik. Ada apa di balik kenaikan itu? Apakah ini kesempatan bagi PKS mempertegas haluan politiknya, atau justru mengubahnya?
Hasil survei Litbang Kompas terakhir mengungkapkan perubahan yang menjadi dasar bagi terjadinya peningkatan suara PKS. Di antaranya peningkatan soliditas simpatisan PKS, terutama di perkotaan, dan penguatan pada basis pemilih kelas bawah.
Raihan dari kelompok berpendidikan dasar membesar, seiring dengan menguatnya dukungan dari generasi milenial. Peningkatan juga terjadi pada kelompok kaum perempuan. Ditambah dengan dukungan dari luar Jawa yang juga menanjak, posisi PKS untuk sementara ini cukup menonjol di strata partai papan tengah.
Elektabilitas PKS naik dari 5,4 persen pada April 2021 menjadi 6,7 persen di bulan Oktober lalu. Meskipun secara statistik kenaikan itu belum signifikan, perubahan peringkatnya cukup mengejutkan mengingat kompetitifnya persaingan di partai strata tengah.
PKS masuk di ranking ke empat setelah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang meraih 19,1 persen, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 8,8 persen, dan Partai Golongan Karya (Golkar) 7,3 persen.
Posisi PKS mengalahkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Demokrat yang enam bulan sebelumnya berada di atasnya. Pada April lalu, PKS masih berada di peringkat enam.
PKS pernah menduduki peringkat empat pada Pemilu 2009, dengan raihan suara 7,88 persen, di bawah Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PDI-P.
Posisi PKS berada di atas Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), PKB, dan Partai Gerindra. Namun, dalam pemilu berikutnya, 2014, posisinya turun ke peringkat ke tujuh. Pemilu terakhir, 2019, cukup memberi angin segar bagi PKS karena suara yang diraih meningkat cukup besar dan peringkatnya naik ke posisi ke enam.
Soliditas simpatisan
Meningkatnya soliditas simpatisan PKS menjadi salah satu faktor yang mendongkrak elektabilitas partai berlambang dua bulan sabit mengapit kapas yang saat ini berganti latar belakang logo menjadi berwarna oranye itu.
Terjadi peningkatan yang cukup tajam dari suara yang memilih PKS selama enam bulan terakhir. Pemilih yang pada Pemilu 2019 memilih PKS dan akan kembali memilih partai ini pada April 2021 sebanyak 66,1 persen, lalu menjadi 74,7 persen pada bulan Oktober.
Peningkatan itu menyebabkan perubahan pada komposisi pemilih PKS. Proporsi pemilih dari internal simpatisan PKS berubah dari 56,9 persen menjadi 70 persen. Angka ini menunjukkan bahwa partai yang saat ini dipimpin oleh Presiden PKS Ahmad Syaikhu itu kian solid.
Perubahan demografis pemilih
PKS selama ini dikenal sebagai partai yang lebih condong didukung oleh pemilih dari wilayah perkotaan. Hasil survei ini pun menunjukkan proporsi pemilihnya di atas rata-rata proporsi semua partai di perkotaan. Dan, tampaknya soliditas PKS di perkotaan cenderung semakin kuat selama enam bulan terakhir, naik dari 53,1 persen menjadi 58 persen.
Seiring dengan peningkatan suara di perkotaan, dukungan pemilih dari luar Jawa juga sedikit terungkit, membuat rentang proporsi pemilih antara Jawa dan luar Jawa makin lebar.
Kenaikan suara terutama terjadi di gugus Pulau Bali+Nusa Tenggara dan Maluku+Papua. Sekarang, dengan proporsi luar Jawa sebanyak 53,8 persen, sebaran geografis pemilih PKS dapat dikatakan makin luas.
Padahal, rata-rata semua partai mendapat dukungan terbanyak dari Jawa. Ini bisa dimaknai sebagai perluasan pengaruh, tetapi dapat juga sebaliknya, dapat dipandang sebagai menepi dari battle ground di Jawa sebagai lumbung suara terbanyak.
Saat ini, kelas menengah bawah merupakan basis utama bagi suara rata-rata partai. Suara PKS di kelompok ini sedikit lebih tinggi daripada rata-rata pada bulan April, tetapi berkurang menjadi di bawah rata-rata pada bulan Oktober.
Perubahan yang positif justru terjadi di kelompok masyarakat kelas bawah dan kelas menengah atas. Meskipun di kelas bawah suara PKS cenderung lemah, terdapat tren kenaikan.
Di kelas menengah atas, suara PKS cenderung berada di atas rata-rata semua partai, dan ada tren kenaikan selama enam bulan terakhir dari 22,2 persen menjadi 27,2 persen.
Pemilih berpendidikan dasar (SD sampai SMP) merupakan pasar terbesar politik di Indonesia. Jika dirata-ratakan semua partai, berdasarkan hasil survei, kelompok ini mencakup 60,7 persen, sedangkan yang berpendidikan menengah 29,1 persen dan pendidikan tinggi mencakup 10,1 persen.
Suara PKS memang cukup menonjol di kelompok berpendidikan menengah dan atas, dan cenderung berada agak jauh di bawah rata-rata kelompok berpendidikan rendah.
Meski demikian, ada kenaikan proporsi pemilih dari kalangan berpendidikan rendah. Kenaikan ini dibarengi dengan penurunan pendukung dari kalangan pendidikan menengah.
Gejala ini menunjukkan pergeseran dukungan untuk PKS, yang kini mulai merambah ke pasar pendidikan bawah. Aktivitas PKS selama masa pandemi Covid-19 yang cukup banyak menyasar kelompok masyarakat bawah, bisa jadi, telah menambah dukungan dari kelompok tersebut.
Generasi milenial (24-39 tahun) dan generasi X (40-55 tahun) merupakan komponen terbesar dari suara pemilih. Suara untuk PKS juga cukup menonjol di kedua kelompok ini.
Hanya, suara dari generasi X turun cukup tajam. Sebaliknya, dukungan dari kelompok milenial justru meningkat. Kelompok milenial merupakan kelompok aktif yang di bidang kerja sedang dalam posisi pematangan karier atau mencari peluang yang lebih baik.
Selama enam bulan terjadi perubahan signifikan dalam komposisi pemilih laki-laki dan perempuan di tubuh PKS. Jika pada April 2021 lebih banyak pemilih laki-laki, kini condong lebih banyak perempuan.
Proporsi perempuan yang memilih PKS meningkat dari 35,9 persen menjadi 53,8 persen. Sebaliknya, suara kaum laki-laki turun dari 64,1 persen menjadi 46,3 persen. Ini menunjukkan terjadinya perubahan yang dinamis dari segi jender pemilih.
Dinamika juga terjadi dalam aliran keagamaan pemilih. PKS yang selama ini ditempatkan sebagai partai sayap kanan karena dicitrakan lekat dengan fundamentalisme agama, sebetulnya secara garis besar tak berbeda jauh dari rata-rata partai lainnya dalam basis pemilih.
Pemilih dari aliran agama bertradisi Nahdlatul Ulama (NU) adalah terbanyak. Bahkan, pada April lalu dukungan pemilih dari NU mencapai 65,6 persen.
Namun, proporsi pemilih dari NU menurun pada Oktober, menjadi 56,8 persen. Sebaliknya, terjadi penguatan dukungan yang berasal dari pemilih selain NU dan Muhammadiyah, dari 25 persen menjadi 33,3 persen.
Dukungan dari segmen ini membuat PKS makin berjarak dengan rata-rata partai. Saat ini, rata-rata dukungan partai dari segmen selain NU dan Muhammadiyah adalah 19,6 persen.
Sikap terhadap pemerintah
Simpatisan PKS merupakan kelompok pemilih yang paling tidak puas dengan kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Ketidakpuasan simpatisan ini cenderung naik selama enam bulan terakhir.
Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan komposisi di dalam proporsi pemilih PKS. Jika pada April 2021 yang tidak puas berada di kisaran 56,3 persen, pada Oktober meningkat menjadi 63,8 persen.
Meski bukan satu-satunya partai yang mengalami peningkatan ketidakpuasan pemilihnya kepada pemerintah, perubahan yang terjadi pada PKS turut menyumbang penurunan kepuasan masyarakat atas kinerja pemerintahan secara keseluruhan.
Sebagaimana dilansir dalam rilis survei sebelumnya, kepuasan terhadap kinerja pemerintahan mengalami sedikit penurunan dari 69,1 persen pada bulan April menjadi 66,4 persen pada Oktober.
Peluang dan problem klasik
Pemilu 2024 mendatang menjadi tahun peluang bagi PKS, tetapi juga tetap menjadi pemilu yang puncaknya sulit digapai oleh PKS. Menjadi peluang karena sebagai partai oposisi lebih bebas menentukan arah dan sikap politiknya.
PKS juga lebih leluasa mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan rakyat. Terlebih, dengan citra sayap politiknya yang lebih ”kanan” dari partai oposisi lainnya, PKS dapat menjadi pemusatan kekuatan politik tandingan terhadap kecenderungan politik oligarkis ataupun kiri.
Dengan waktu lebih dari dua tahun sebelum pemilu, PKS dapat menyusun strategi penguatan basis pemilih yang lebih matang dibandingkan partai-partai lainnya yang terkooptasi dalam pemerintahan.
Meski demikian, PKS tampaknya masih akan menghadapi problem laten yang selalu muncul di setiap pemilu, yaitu elektabilitas dan popularitas tokoh partai yang dapat diajukan sebagai calon untuk berkontestasi dalam pilpres.
Sejak Pemilu 1999 hingga 2019, PKS tidak pernah memiliki calon dari kader sendiri untuk berkontestasi memperebutkan jabatan presiden RI. PKS selalu menjadi bagian dari koalisi untuk mendukung calon dari partai lain.
Sistem pemilu memang membatasi partai yang tidak memperoleh cukup suara untuk mengajukan calonnya sendiri dalam pilpres. Partai kecil dan papan tengah harus berkoalisi dengan beberapa partai untuk dapat mengajukan calonnya.
Namun, persoalan rendahnya popularitas tokoh adalah ganjalan utama dalam sistem pilpres langsung. Dan, PKS selalu berada dalam pusaran problematik ini.
Persoalan ini yang tampaknya membuat pemilih PKS saat ini masih menunggu nama tokoh yang akan didukung oleh PKS. Sejauh ini, nama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memang paling dominan dipilih oleh simpatisan PKS meskipun proporsi dukungannya stagnan selama enam bulan terakhir, dari 33,3 persen menjadi 32,9 persen.
Perubahan yang besar justru terjadi pada pemilih rahasia, yang belum menentukan pilihannya, dari 9,5 persen menjadi 20,7 persen. Ini menunjukkan situasi wait and see dari pemilihnya untuk melihat pergerakan PKS dalam menentukan calon.
Sementara itu, dukungan simpatisan PKS kepada calon-calon lain juga merosot. Dukungan kepada Prabowo Subianto yang semula 22,2 persen menjadi 13,4 persen, kepada Ganjar Pranowo yang semula 14,3 persen menjadi 6,1 persen, dan kepada Sandiaga Uno yang tadinya 11,1 persen menjadi 3,7 persen. Ironisnya, merosotnya dukungan kepada tokoh-tokoh di luar kader PKS tidak dibarengi dengan naiknya dukungan kepada tokoh di dalam jajaran elite PKS.
Pertanyaan
Saat ini, PKS bisa dikatakan berada dalam rentang yang paling ujung dari sebuah kontinum kekuasaan. Hampir semua karakter yang terbentuk dari sikap pemilihnya menempatkan PKS sebagai partai oposisi.
Mampukah PKS menempatkan peran dalam sebuah oposisi biner untuk mengambil peluang memaksimalkan perolehan suaranya? Di tengah oligarki partai, ketika pemusatan kekuatan sebagian besar partai di satu sisi yang berlawanan dengannya, bagaimana PKS mengambil keuntungan dari situasi ini hingga menjelang pemilu?
Saat ini merupakan momen yang terbilang sangat tepat bagi PKS untuk menyajikan figur alternatif di tengah rendahnya elektabilitas tokoh-tokoh yang saat ini diunggulkan untuk calon presiden di Pemilu 2024.
Juga, di tengah kemerosotan kepercayaan para simpatisan kepada calon-calon di luar kader PKS, bagaimana partai ini melakukan kreasi penciptaaan sosok yang memiliki peluang besar untuk mengubah peta kontestasi?
Persoalan haluan partai merupakan problem fundamental yang berpengaruh pada skala dukungan terhadap partai. Pasar politik yang terbuka luas berada di haluan tengah atau kiri, sementara PKS lebih dicitrakan sebagai partai berhaluan kanan.
Sejauh ini, citranya sebagai partai yang mengusung fundamentalisme Islam dan Wahabi masih cukup kuat melekat. Padahal, pasar politik di ceruk ini masih terlalu sedikit meskipun ada perkembangan. Bahkan, jika ditelusuri, basis massa partai masih berfondasikan aliran tradisional NU.
Menjadi partai terbuka (inklusif), ataukah mempertahankan eksklusivitasnya sebagai partai kader yang terbatas pada orang-orang Islam saja, adalah pertanyaan repetitif yang selalu dihadapi PKS menjelang pemilu.
Pasar politik yang terbuka luas berada di haluan tengah atau kiri, sementara PKS lebih dicitrakan sebagai partai berhaluan kanan.
Problem ini tampaknya yang ingin dijawab oleh PKS sehingga dalam Rakernas pada Maret 2021 partai ini menyatakan diri sebagai partai terbuka. Pergeseran ke arah yang lebih ke tengah tampaknya sudah mulai dilakukan. Ke depan, apa strategi untuk mempertahankan basis massa setianya, dan apa pembeda posisinya di antara partai Islam nasionalis lainnya?
Konflik internal partai yang melahirkan Gerakan Arah Baru Indonesia atau Garbi dan pada akhirnya memunculkan Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora Indonesia) pada 28 Oktober 2019 memecah sebagian kader PKS.
Bagaimana strategi PKS untuk mempertahankan konstituennya dan menarik batas yang jelas dengan Partai Gelora Indonesia, sementara saat ini haluan kedua partai menjadi makin mirip? (LITBANG KOMPAS)
Leave a Reply