When you walk through a storm,
hold your head up high,
and don’t be afraid of the dark.
At the end of the storm,
is a golden sky and sweet silver song of lark…
Syair di atas adalah syair lagu kebanggaan salah satu klub liga Inggris yang mempunyai pendukung terbanyak di dunia, Liverpool FC. Lagu yang berjudul “You’ll Never Walk Alone” ini sangat berarti bagi klub tersebut, sehingga judul lagu itu dijadikan bagian yang tidak terpisahkan dari logo kesebelasan mereka. Dan lagu inilah yang kemudian menjadi sorak sorai stadion Anfield, demikian semangatnya hingga konon kerasnya suara supporter Anfield lebih menggetarkan dibanding gemuruh pesawat boeing 737.
Kesebelasan ini, bersama legenda Beatles, menjadi identitas yang tidak terpisahkan dari kota Liverpool. Ribuan orang yang turun ke jalan setelah mereka menjuarai piala Champion seakan menjadi bukti rasa kepemilikan mereka. Wajar jika para
pemainnya mengatakan, “..di Liverpool,kami mendengar sorak-sorai pendukung kami baik yang berasal dari dalam stadion, dari luar stadion, maupun dari sudut-sudut kecil jalan kota Liverpool!”
Di saat tertentu, penting bagi kita untuk merasa tidak sendirian di jalan dakwah. Apalagi jika tekanan dakwah dari segala penjuru terasa semakin berat. Jalan ini terlihat mulai lebih sukar dan lebih mendaki. Dalam saat-saat seperti ini marilah kita renungkan kembali orientasi-orientasi perjalanan ini, dan menghadirkan kembali wajah para pendahulu kita, para syaikh,
guru kita, sahabat-sahabat kita, para pendukungnya, ataupun orang-orang yang sekedar menitipkan harapannya kepada perjuangan ini.
Sesungguhnya jalan ini adalah jalan dimana kita memperjuangkan tauhid. Maka ketika kita menyampaikan ayat-ayat tauhid atau menyampaikan ta’lim ke sekeliling kita, satu per satu membersihkan syirik di sekitar kita, belajar ittiba kepada Rasulullah Muhammad SAW, meyakini, dan senantiasa menyegarkan keimanan kita terhadap hari pembalasan, insyaAllah kita berada di jalan yang juga dilalui oleh para pejuang tauhid sebelum, ataupun sesudah kita.
Maka sungguh jalan yang kita lewati ini adalah jalan yang sama dengan jalan yang dilewati para nabi Allah dari Adam as, hingga Rasulullah Muhammad SAW maupun para sahabat dan tabiin. Sesungguhnya jalan ini juga merupakan perjuangan kita untuk menjelaskan hakekat kemuliaan pembelaannya terhadap kaum dhuafa.
Oleh karena itu, jika kita terjun habis-habisan di dunia pendidikan, bersungguh-sungguh mengelola dan mendistribusikan donasi kemanusiaan, bergerak dalam ekonomi kerakyatan, mengikhtiarkan konstitusi yang menjamin hak-hak semua orang,
memperjuangkan kebersihan dan keseimbangan linkungan kita, serta tidak pernah menyerah mengusir penjajahan manusia terhadap manusia, maka insyaAllah jalan yang kita lalui adalah jalan yang sama dengan jalan yang dilalui oleh pejuang-pejuang kemanusiaan yang lain.
Di tanah air, kita bisa belajar kepada mereka yang jiwa tauhidnya melahirkan perjuangan kemanusiaan yang luar biasa, seperti Buya Hamka, Jendral Sudirman, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, Burhanudin Harahap, dan M Natsir. Di dunia internasional, tentu lebih banyak lagi.
Memang benar, sebagaimana pertandingan sepakbola, orang yang berjuang di lapangan selalu lebih sedikit daripada yang menonton dan bersorak sorai saja. Orang yang bekerja siang malam di jalan dakwah jauh lebih sedikit daripada para penonton dan komentator yang tidak pernah diam. Tidak ada salahnya untuk mendengarkan dan ‘menikmati’ sorak-sorai mereka.
Seperti juga dalam sepakbola, sebaik apapun kita, selalu ada kata-kata mereka yang dengki demikian pedas dan menyakitkan hati. Daripada menyibukkan diri dengannya, mengapa tidak mencoba mencari “sorak-sorai” lain, yang sesungguhnya jauh lebih bergelora, tetapi tetap sejuk di hati.
Sorak-sorai ini bisa berasal dari anak-anak di Palestina yang berseru dalam takbir mereka bersama batu-batu yang mereka lemparkan. Takbir mereka, dan takbir kita, adalah takbir yang sama yang pernah memenangkan Mekah, merebut Al Quds, menumbangkan Konstantinopel, menaklukan hampir sepertiga dunia di masanya, dan hingga sekarang bergema di setiap masjid di seluruh penjuru dunia.
Sorak-sorai ini juga bisa berasal dari keluhan dan tangisan anak-anak bangsa yang lemah dan terus menyenandungkan rindu mereka terhadap keadilan, dan mimpi mereka tentang kesejahteraan. Sorak-sorai ini, juga insyaAllah berasal dari bisikan doa ibunda dan ayahanda kita, anak-anak kita, bersama semua doa orang shalih lainnya, yang senantiasa merajut harapan, dan menitipkan kebanggan untuk kalian, para pejuang tauhid dan kemanusiaan.
Jalan ini tidak sesunyi yang kita perkirakan. Jalan ini adalah jalan yang penuh dengan gemuruh tasbih, tahmid dan takbir para malaikat dan makhluk-makhluk-Nya di muka bumi ini dengan gegap gempita, sambung menyambung antargenerasi, sahut menyahut antarteritori, yang tidak pernah berhenti menemani para nabi, pewarisnya, dan pengikutnya hingga akhir
zaman.
Tentu, orang-orang dengan kapasitas seperti kita, senantiasa merasa tidak layak disandingkan dengan perjuangan para nabi. Boleh kita katakan, That is out of our league! Tetapi kadang kita tidak bisa memilih di liga mana kita bisa bermain. Ada saatnya tiba-tiba kita sudah berada di lapangan pertarungan yang kita tidak pernah bisa bermimpi untuk ada di dalamnya, apalagi memenangkannya. Dan ketika beberapa langkah awal kita demikian buruk, dan ketika komentar, cemoohan, hinaan, ancaman mulai menerobos telinga dan menyergap hati kita, saat itulah kita perlu mengingat dan mengazamkan lagi orientasi kita, menghadirkan kembali wajah semua saudara seperjuangan kita dan berdoa sebagaimana doanya pasukan
Thalut.
Setelah itu mari mencoba berbuat yang terbaik yang kita bisa. Meminjam perkataan BillvShankly, “You must believe that you are the best and then make sure that you are!” Apalagi perintah dari Allah SWT sudah jelas dan terang benderang agar kita terus bekerja. Karena hanya orang-orang yang bekerja yang mampu merasakan pesona kebersamaan, nikmatnya perjuangan, indahnya pengorbanan, dan makna kemenangan. Di jalan Allah, kita tidak akan pernah berjalan sendirian… (IA).
Leave a Reply