Oleh: Ir. Tuti Elfita, M.Si. Ketua Dept. Kajian Perempuan, Anak dan Keluarga BPKK DPP PKS
“Maroko adalah dongeng yang indah [di Piala Dunia],” ungkap eks pelatih Inter Milan, Andrea Stramaccioni, dikutip dari Il Fatto, Senin (12/12). Dia menambahkan. “Saya membuat video dengan ponsel saya ketika Boufal [pemain Maroko] menari di lapangan bersama ibunya, dengan penuh kasih mengatur jilbabnya agar tidak menyulitkannya.”
Kemenangan Maroko hingga di titik semifinal piala dunia 2022, menyedot perhatian masyarakat dunia. Maroko merupakan negara Afrika pertama yang sukses mengukir sejarah menjejak kaki hingga ajang semifinal. Namun di sisi lain, keberadaan Timnas Maroko di Piala Dunia memberi warna tersendiri pada selebrasi bergengsi dunia ini. Cara pemain tim Maroko merayakan kemenangan mereka menjadi sorotan khusus pemirsa bola seluruh dunia hingga perbincangan hangat di dunia maya.
Selebrasi kemenangan ala Achraf Hakimi dan teman-teman, memantik keharuan publik. Publik terpana ketika menyaksikan pelukan dan ciuman yang dihamburkan Hakimi ke ibunya di tribun penonton saat kemenangan Maroko atas Belgia dan Spanyol. Netizen pun berulangkali membagikan tayangan video dan foto selebrasi Sofiane Boufal yang mengajak ibunya menari merayakan kemenangan di lapangan, setelah mengalahkan Portugal untuk melangkah ke semifinal. Bahkan sang pelatih timnas Singa Atlas, Walid Regragrui pun segera menghampiri, memeluk dan mencium kening ibunya.
Ternyata cara selebrasi pemain Maroko dengan menghadirkan para ibu dalam kebahagiaan mereka, memantik haru masyarakat dunia dan mengetuk kesadaran memanggil kembali keberadaan ibu dalam kehidupan. Bisa jadi tak ada yang terlalu istimewa membincangkan sosok ibu, karena ia sudah ada sejak manusia diciptakan. Namun kehadiran para ibu di perayaan kemenangan pemain Maroko menghentak kesadaran sehingga seorang komentator Jerman pun berujar yang diunggah di akun FB Inside Africa “We no longer see the intimate family bonds in our western societies. The concept of family is fading, and we can only see the players kissing their models and girlfriends while their parents are left in nursing homes.The moral support of the family played a big role in Morocco’s wins, while we came to support homosexuality and place our hands on our mouths. We taught them (means the Moroccans) how to play football, so they excelled and exceeded us, and we should learn ethics and family values from them, hoping one day we see our players kissing the forehead of their mothers and fathers too.”
(“Kita tidak lagi melihat ikatan keluarga yang intim dalam masyarakat Barat kita. Konsep keluarga telah memudar, dan kita hanya bisa melihat pemain mencium gadis modelnya dan pacar mereka, sementara orangtua mereka yang menunggu di panti jompo. Dukungan moral keluarga berperan besar dalam kemenangan-kemenangan Maroko, sementara kami datang untuk mendukung homoseksualitas dan menutupkan tangan kami pada mulut kami. Kami mengajari mereka (Maroko) cara bermain sepak bola, kini mereka unggul dan melebihi kami, dan kami juga harus belajar etika dan nilai-nilai keluarga dari mereka, berharap suatu hari nanti kami melihat para pemain kami mencium dahi ayah dan ibu mereka juga.”)
Fenomena krisis intimasi dalam keluarga saat ini bukan hanya menjadi masalah dunia barat, namun sudah merambah ke negara maju di timur. Hubungan antar anggota keluarga dalam pernikahan di masyarakat barat bukan lagi intimasi yang melibatkan emosi rasa kasih sayang, saling menghargai dan menghormati. Tuntutan materi yang dari waktu ke waktu semakin membebani keluarga-keluarga Eropa, menyebabkan mereka ‘hitung-hitungan’ dalam mendefinisikan apa itu keluarga dan tugas serta fungsi anggota keluarga.
Memenuhi kesejahteraan keluarga yang menjadi tanggung jawab suami, dirasa tidak fair dan mengganggu keyamanan hidup para pria, seiring banyaknya perempuan yang sudah bisa dan biasa hidup mandiri. Di sisi lain, para istri pun terbebani dengan pekerjaan mengurus rumah tangga dan mengurus anak yang menurut mereka akan menghambat keinginan mereka untuk berkarir atau menikmati kehidupan pribadi mereka. Menjadi istri dan ibu hanya akan merampas kemerdekaan mereka menentukan kehidupan mereka sendiri. Karena setiap langkah harus mempertimbangkan persetujuan suami dan pengasuhan anak. Sehingga seiring modernisasi berjalan, semakin banyak perempuan yang memilih untuk tidak menikah atau menikah namun tak ingin memiliki anak (childfree).
Situs elle.com pada 14 Juli 2020 menulis topik ‘The Motherhood Rejection: ‘We Didn’t Need A Baby To Make Us Feel Complete’ (Penolakan Menjadi Ibu : Kami tidak membutuhkan bayi untuk merasa utuh), memaparkan cara pandang yang berubah mengenai status sebagai ibu. Setelah bertahun-tahun perempuan merasa berbeda dan istimewa ketika mereka memiliki dan mengasuh anak, pada masa ini perempuan yang memilih childfree adalah bentuk kebebasan mereka memilih untuk berbeda dan istimewa. Stereotip yang disematkan kepada perempuan childfree bahwa mereka hidup dalam kesedihan, meninggalkan insting alamiah keibuan, egois, materialis, hedonis, menurut mereka sama sekali tidak benar. Mereka adalah manusia yang utuh dengan memilih definisi keluarga versi mereka.
Cara pandang itu pun menular ke negara-negara maju di Asia seperti Jepang dan Korea Selatan. Budaya peran ibu yang memberi pengaruh besar pada kehidupan anak dan keluarga di dua negara maju tersebut tidak lagi menginspirasi para perempuan muda untuk berkeluarga dan memiliki anak. Data Kemenkes Jepang mencatat jumlah kelahiran bayi turun menjadi 840.832 pada 2020, turun 2,8% dari tahun 2019 sebelumnya. Jumlah angka ini juga terendah sejak pencatatan dimulai pada 1899, sebagaimana dilansir dari Reuters. Sementara jumlah pernikahan terdaftar di Jepang turun 12,3% tahun 2020 lalu, menjadi 525.490, yang juga merupakan angka rekor terendah.
Tak hanya itu, tingkat kesuburan Jepang dan jumlah kelahiran yang diharapkan per wanita turun menjadi 1,34%, menjadi jumlah terendah di dunia. Begitu juga dengan Korea Selatan, di mana menurut laporan, satu dekade lalu, hampir 47% perempuan lajang dan belum menikah mengatakan bahwa mereka menganggap pernikahan itu perlu. Namun sejak 2018, jumlahnya turun menjadi 22,4%. Sementara itu, jumlah pasangan yang menikah merosot menjadi 257.600 pasangan saja, turun dari 434.900 pernikahan pada tahun 1996. Akibat hal ini, Korsel terancam menghadapi bencana demografis yang membumbung tinggi. Saat ini, tingkat kesuburan total di Korsel turun menjadi 0,98 pada tahun 2018. Persentase ini jauh di bawah 2,1% yang dibutuhkan untuk menjaga populasi tetap stabil.
Fenomena ini pun mulai berkembang di Indonesia. Jika melihat data yang dikeluarkan world bank, tren angka kelahiran di Indonesia terus mengalami penurunan, bahkan pada 2019 angka kelahiran kasar per 1000 penduduk di Indonesia berada pada angka 17,75. Data ini didukung oleh hasil sensus penduduk yang dikeluarkan BPS dimana ada penurunan laju pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan penduduk pada 2010-2020 menunjukan angka 1,25% menurun dari periode sebelumnya pada 2000-2010 menunjukan angka 1,49%. Sebuah komunitas yang bernama Childfree Life Indonesia, para pengikutnya memiliki alasan untuk memilih childfree, di antaranya karena sibuk berkarir, trauma akan masa kecil dan tidak menyukai anak kecil.
Kita berada di masa menjadi ibu bukan lagi sebuah kebahagiaan dan penghargaan, namun merupakan beban hidup dan memasung kebebasan hidup perempuan. Pengorbanan ibu yang menjadikan sebagian hidupnya adalah milik keluarganya, dianggap sebagai bentuk kelemahan perempuan dan menjauhkan perempuan dari pemberdayaan dirinya.
Derasnya budaya materialis hedonis yang dikenalkan oleh peradaban barat, menekankan hubungan antar manusia adalah semata hubungan kebutuhan materi. Maka begitu pula yang terjadi dalam hubungan antar anggota keluarga. Profesi sebagai ibu dianggap sebagai pekerjaan tak berbayar sehingga tak meningkatkan daya tawar perempuan dan berdampak merendahkan derajat perempuan. Tekanan hidup menyebabkan sosok ibu kian krisis dengan peran keibuan. Kelembutan dan kehangatan ibu tergerus tuntutan kehidupan, sehingga membentuk interaksi yang keras dan dingin antara ibu dengan keluarga.
Maka tak salah kalau selebrasi ala timnas Maroko membelalakkan mata dunia melihat bagaimana hangat dan mesranya hubungan ibu dengan anak. Sedemikian besar arti seorang ibu yang tak sepenuhnya mampu memberi limpahan materi kepada anak, melainkan curahan pengorbanan berbentuk kasih sayang, perhatian, kehangatan, nasihat, motivasi dan teladan.
Ibu yang menggandakan dirinya hingga mampu berwujud sebagai orang tua, guru, teman, akuntan, psikolog, rekan kerja dan sebagainya. Ibu yang hampir tak pernah terlihat bersedih dan mengeluhkan beratnya pekerjaan yang harus dikerjakannya sehari-hari demi mengasuh dan membsarkan anak-anak serta menjaga terpenuhinya kebutuhan keluarga.
Ibu yang selalu menjaga pilar nilai-nilai keluarga untuk selalu diperhatikan dan dijaga oleh anak-anak. Ibu yang tak pernah berhenti berpesan kepada anak-anaknya demi memastikan bahwa mereka berada di jalur kehidupan yang benar. Ibu yang tak pernah protes dan merasa keberatan bahwa separuh hidupnya bukan miliknya sendiri. Bahkan ia rela menjalani dinamika kehidupannya berayun bersama bandul kehidupan suami dan anak-anaknya. Karena ia tahu, peran keibuan yang dilaksanakannya adalah bagian dari misi membangun peradaban yang meninggikan martabat manusia.
Namun fenomena bahwa menjadi ibu tidak lagi menjadi kebahagiaan, bukan semata permasalahan individu. Bukan sekedar tentang pilihan jalan hidup seorang perempuan. Fakta menunjukkan bahwa perubahan budaya keibuan terjadi melalui transformasi sosial. Gelombang emansipasi perempuan menyeret cara pandang perempuan untuk menimbang lagi peran keibuan. Bingkai relasi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan dibangun dan diperkuat sehingga ketika perempuan menjalankan peran keibuan, ia akan didominasi dan bergantung pada laki-laki sebagai suami. Hingga pada kondisi tertentu, transformasi sosial itu mempengaruhi kebijakan yang mengatur tatanan keluarga. Kebijakan yang membuat peran suami dan istri menjadi timpang, kebijakan yang membuat peran ayah dan ibu menjadi bias.
Ibu bukanlah manusia hebat. Kemampuannya menjalankan tugas keibuan membutuhkan dukungan secara sosial dan kebijakan publik. Kasih ibu yang tak terhingga sepanjang masa, yang hanya memberi tak harap kembali, suatu hari bisa jadi hanya menjadi dongeng indah, bila kita tak menjaganya. Bila kita tak menghidupkan dukungan sosial dan kebijakan publik yang mendukung dan memfasilitasi peran keibuan, maka para perempuan akan kelelahan dalam menjalankan tugas sebagai ibu lalu memilih untuk membebaskan diri darinya. Menguatkan peran holistik keluarga, mengembalikan peran keibuan untuk membentuk generasi pembangun peradaban emas.
Leave a Reply