Kewarganegaraan ganda, harus ada titik temu

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diminta untuk mencari kompromi atau jalan tengah terkait permasalah kewarganegaraan ganda atau dual citizenship. Hal ini mengemuka dalam acara dialog online yang diselenggarakan Pusat Informasi dan Pelayanan Partai Keadilan Sejahtera (PIP PKS) Inggris, hari Minggu (27/10) yang menghadirkan Dr Taufik Ramlan Wijaya, calon anggota DPR untuk daerah pemilihan Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan luar negeri, Cathy Lelengboto, ketua Perhimpunan Rantau Indonesia di Inggris (PERIUK), dan Siti Wahadi, aktivis di perkumpulan pekerja migran Indonesia di Inggris.

“Semestinya ada titik temu, sehingga kewarganegaraan ganda ini memberi kemanfaatan baik bagi pemerintah Indonesia maupun warga Indonesia yang menetap di luar negeri,” kata Taufik.

Taufik Ramlan yang juga ketua Bidang Hubungan Luar Negeri (BHLN) Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKS menambahkan bahwa jika ada yang mempertanyakan loyalitas warga Indonesia yang menetap di luar negeri, ia berpendapat bahwa nasionalisme tetap ada dalam diri mereka, “hati mereka tetap Merah Putih,” urai alumni program S3 dari Universitas Sheffield, Inggris tersebut.

Cathy Lelengboto mengungkapkan bahwa kewarganegaraan ganda disinggung di Kongres Diaspora Indonesia di Jakarta pada Agustus lalu. Namun sepertinya belum ada tindak lanjut tentang aspirasi yang banyak disuarakan oleh warga negara Indonesia di luar negeri.

Secara khusus Cathy menjelaskan persoalan yang dihadapi anak-anak Indonesia yang saat ini memiliki dua kewarganegaraan dan nantinya harus memilih satu kewarganegaraan.

“Bagaimana bila anak ini suatu saat nanti ingin bekerja di Indonesia (tapi karena alasan tertentu menghadapi kesulitan karena tak memegang paspor Indonesia)? Ini harus dipikirkan dan saya kira pemerintah Indonesia harus membantu anak-anak yang ingin menyumbangkan tenaga dan pemikiran untuk Indonesia,” ujar Cathy.

Indonesia termasuk negara yang tak mengakui kewarganegaraan ganda. Sejak beberapa waktu lalu muncul petisi online yang mendesak pemerintah Indonesia mengakui kewarganegaraan ganda.

Selain kewarganegaraan ganda, yang juga mengemuka dalam seri dialog PKS Inggris dengan tema dinamika dan aspirasi warga Indonesia di luar negeri ini adalah Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN). Siti Wahadi mengatakan ada persoalan sosialisasi yang membuat tak semua pekerja migran mengetahui KTKLN, sementara imigrasi di bandara kadang meminta KTKLN, dan bila tak bisa menunjukkan kartu itu, petugas tak mengizinkan terbang.

“Ada kasus pekerja migran ini tertinggal pesawat karena tak bisa menunjukkan KTKLN. Ini beberapa kali terjadi,” papar Siti. Hal senada juga disampaikan beberapa peserta dialog.

Menanggapi keluhan ini, Taufik mengatakan sejak 30 Agustus 2012, berdasarkan surat edaran Dirjen Penempatan Tenaga Kerja Indonesia, hal ini seharusnya tidak lagi dipersoalkan oleh imigrasi karena ini masuk urusan Kementerian Tenaga Kerja.

“Salah satu jalan keluarnya mungkin adalah dicetak saja edaran itu dan ditunjukkan ke petugas imigrasi. Mestinya soal KTKLN ini tak lagi menjadi persoalan di lapangan,” kata Taufik.

Hal lain yang disampaikan Siti adalah masih adanya pandangan miring terhadap para pekerja migran di luar negeri, padahal pemasukan devisa dari pekerja migran ini tak kecil, “tapi kami masih dipandang rendah,” kata Siti yang pernah bekerja di Timur Tengah ini.

Taufik lebih lanjut juga menyampaikan bahwa Tenaga kerja Indonesia juga bisa mempersiapkan diri untuk pengembangan bisnis setelah tidak bekerja lagi di luar negeri, “PKS secara institusi akan berusaha membantu para tenaga kerja Indonesia baik semasa berada di luar negeri maupun setelah kembali ke Indonesia,” pungkas Taufik.

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*